Mengenal Tradisi Dun – dunan Kelahiran Bayi Dalam Kelurga Jawa, Ada Satu yang Paling Ditunggu

Prosesi ritual tedhak siten dilakukan keluarga Imam Prayogo, Senin (5/5).

PEMBURUNEWS.COM.COM, KOTA PEKALONGAN – Salah satu tradisi atau ritual setelah kelahiran bayi dalam keluarga Jawa adalah tedhak siten atau dun-dunan. Tradisi tersebut dilakukan setelah bayi menginjak usia 7 bulan.

Menurut budayawan muda Yogyakarta, Muhammad Ali Warqan, tedhak sinten dalam tradisi Jawa dimaknai sebagai pertama kalinya bayi diperbolehkan menginjak tanah yang biasanya dimulai usia 7 bulan.

“Tedhak sinten berasal dari kata tedhak yang berarti menapakkan kaki, sedangkan siten berarti tanah. Jadi tedhak siten bisa diartikan sebagai bayi pertama kali menginjak tanah,” ujarnya, Senin (5/5/2024).

Ia mengatakan upacara atau ritual tedhak siten dilaksanakan pada saat bayi berusia 7 lapan dalam kalender Jawa atau 8 bulan di kalender Masehi. Di beberapa tempat menyebutnya Salapanan.

Budayawan yang karib disapa Mas Pilar itu juga menjelaskan bahwa dalam ritual tedhak siten biasanya ada ubo rampe berupa jadah 7 warna, tangga yang terbuat dari tebu, kurungan berisi benda-benda seperti alat tulis, uang dan mainan.

Kemudian orang tua bayi biasanya juga menyiapkan air untuk memandikan anak, tumpeng nasi kuning lengkap dengan lauknya serta ingkung atau ayam panggang utuh untuk proses selamatan.

“Rangkaian upacara tedhak siten sering dimulai dari membersihkan kak bayi lalui berjalan melewati tujuh jadah warna warni, menaiki tangga dari tebu, kemudian masuk kurungan lalu bayi dibiarkan memilih benda yang disenangi atau dipegang dengan kedua tangannya dan terakhir memandikannya,” jelasnya.

Dari semua rangkaian upaca tedhak siten tersebut ada pesan atau simbol bahwa orang tua bayi melaksanakan bimbingan kepada anaknya dalam meniti kehidupan yang bakal dijalani kelak. Selain itu juga menjadi bagian dari melestarikan budaya warisan leluhur.

Di sisi lain upacara atau ritual tedhak siten masih dilestarikan oleh keluarga pasangan Imam Prayogo (38) dan Mustikawati (33) warga Keurahan Podosugih, Kota Pekalongan. Dosen di PTN-BH Jawa Tengah itu mengaku masih mempraktikan tedhak siten untuk buah hati pertamanya itu.

“Sudah turun temurun dilakukan oleh orang tua kita. Jadi ini melanjutkan tradisi saja dari keluarga besar kita berdua,” katanya.

Konsultan di bidang akuntansi tersebut juga menyebut bahwa tedhak siten memiliki filosofi yang luhur di mana kebahagian orang tua juga berbagia dengan sanak saudara hingga ke tetangga sekitar.

“Acara yang ramai ditunggu itu adanya sawuran atau udhik-udhikan uang logam yang diperebutkan oleh banyak orang terutama anak-anak. Setelah itu ada selamatan dengan berbagi jajan atau makanan,” tuturnya.(*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *